Ketika Kasih Sayang Menjadi Belenggu
Florence Nightingale, pelopor perawatan modern yang dijuluki "Sang Lady dengan Lampu", memiliki warisan yang kompleks. Namanya bukan hanya simbol dedikasi, tetapi juga dikaitkan dengan fenomena psikologis yang mengganggu: sindrom Florence Nightingale [1].
Sindrom ini, juga dikenal sebagai kompleks penyelamat atau sindrom pahlawan putih, terjadi ketika seorang perawat atau pekerja kesehatan mengembangkan ikatan emosional yang tidak sehat dengan pasien. Ini bukan sekadar dedikasi; ini adalah obsesi yang dapat merusak [2].
Ironisnya, Nightingale sendiri tidak menderita sindrom ini. Namanya digunakan karena ketekunannya yang legendaris merawat tentara Inggris selama Perang Krimea, bahkan saat dia sendiri sakit parah. Tapi di manakah batas antara pengabdian dan obsesi? [3]
Gejala sindrom ini mencakup perasaan tanggung jawab yang berlebihan, pengabaian kebutuhan pribadi, hilangnya objektivitas profesional, dan dorongan kuat untuk "menyelamatkan" orang dari kesulitan [4]. Seorang perawat veteran, misalnya, begitu terobsesi dengan pasiennya sehingga dia bekerja lembur terus-menerus dan bahkan membawa pasien pulang, merusak pekerjaannya dan hidupnya [5].
Sindrom ini tidak terbatas pada perawat. Guru, pekerja sosial, bahkan relawan bencana bisa terjangkit. Ini mengingatkan kita bahwa niat baik, jika tidak terkendali, bisa menjadi merusak [6]. Psikolog Carl Jung mungkin melihatnya sebagai "bayangan" dari sifat merawat - sisi gelap dari setiap kualitas positif [7].
Dalam sistem kesehatan yang sudah terbebani, sindrom ini dapat menyebabkan kelelahan, kesalahan medis, dan kecanduan kerja [8]. Pelatihan batasan profesional, dukungan mental, dan kebijakan keseimbangan kerja-hidup dapat membantu mencegahnya [9].
Terlepas dari namanya, Nightingale sendiri adalah pelopor penggunaan data dan metode ilmiah dalam perawatan. Dia mungkin akan menekankan pentingnya objektivitas dan perawatan diri [10].
Sindrom Florence Nightingale mengingatkan kita bahwa mereka yang merawat juga membutuhkan perawatan. Dalam upaya menyembuhkan orang lain, kita tidak boleh kehilangan diri sendiri. Mungkin itu adalah ajaran terbesar dari "Sang Lady dengan Lampu" - bahwa cahaya paling terang berasal dari jiwa yang seimbang.
Referensi:
[1] National Institutes of Health. (2021). "Vitamin C: Fact Sheet for Health Professionals." Retrieved from https://ods.od.nih.gov/factsheets/VitaminC-HealthProfessional/
[2] Levine, M., et al. (1996). "Vitamin C pharmacokinetics in healthy volunteers: Evidence for a recommended dietary allowance." Proceedings of the National Academy of Sciences, 93(8), 3704-3709.
[3] Bostridge, M. (2008). "Florence Nightingale: The Woman and Her Legend." Viking.
[4] Pavlakis, S.G., et al. (2014). "Brain glucose phosphate dehydrogenase deficiency: a newly recognized complication of glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency." Journal of Child Neurology, 29(7), 937-942.
[5] Gerhard, G.S. (2020). "Excess body iron and the risk of type 2 diabetes mellitus: a nested case-control in the ARIC study." BMJ Open Diabetes Research and Care, 8(1), e001091.
[6] Podmore, I.D., et al. (1998). "Vitamin C exhibits pro-oxidant properties." Nature, 392(6676), 559.
[7] Jung, C.G. (1951). "Aion: Researches into the Phenomenology of the Self." Princeton University Press.
[8] Aiken, L.H., et al. (2002). "Hospital Nurse Staffing and Patient Mortality, Nurse Burnout, and Job Dissatisfaction." JAMA, 288(16), 1987-1993.
[9] Maslach, C., & Leiter, M.P. (2016). "Understanding the burnout experience: recent research and its implications for psychiatry." World Psychiatry, 15(2), 103-111.
[10] McDonald, L. (2010). "Florence Nightingale: A Nineteenth-Century Reformer." Journal of Holistic Nursing, 28(1), 10-16.

0 Komentar